Ketua BPKN Minta Pemerintah Tegaskan Kepastian Bagi Konsumen pada Rencana Blending Etanol di BBM

Beberin.com, Jakarta – Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN RI), Muhammad Mufti Mubarok, menyampaikan sejumlah masukan dan kekhawatiran atas wacana pemerintah mencampurkan etanol ke dalam bahan bakar minyak (BBM). Menurutnya, kebijakan ini harus dirancang dengan memperhatikan hak-hak konsumen agar tidak menimbulkan kerugian.

Masukan dan Catatan dari BPKN :

Mufti Mubarok menggarisbawahi beberapa poin penting:

1. Transparansi Spesifikasi & Informasi

Agar konsumen tidak dirugikan, pemerintah dan pelaku industri harus memberikan data spesifikasi yang jelas—misalnya kadar etanol, dampak pada performa mesin, dan standar pengujian. Konsumen berhak mengetahui bahwa bahan bakar yang mereka beli sesuai kualitas yang dijanjikan.

2. Keandalan Pengujian & Pengawasan

BPKN menekankan perlunya sistem pengujian laboratorium independen dan pengawasan distribusi agar tidak terjadi penyimpangan ataupun pencampuran diluar standar. Tanpa pengawasan ketat, risiko kerusakan mesin atau degradasi performa bisa muncul.

3. Perlindungan Konsumen Jika Terjadi Kerusakan

Jika suatu saat konsumen mengalami kerusakan akibat penggunaan BBM dengan etanol, BPKN berharap mekanisme ganti rugi dan klaim jaminan dapat dijalankan dengan mudah dan efektif. Pemerintah, menurut Mufti, perlu menyiapkan payung hukum yang jelas agar konsumen tidak terlantar.

4. Tahapan & Sosialisasi Bertahap

BPKN menyarankan agar penerapan etanol secara menyeluruh dilakukan dalam tahapan bertahap, bukan langsung dalam skala penuh (mandatori), sembari melakukan edukasi publik agar masyarakat dan pelaku usaha siap menerima perubahan.

5. Uji Coba dan Pilot Project

Sebelum diaplikasikan secara nasional, Mufti menyarankan agar ada zona atau area uji coba terlebih dahulu, guna melihat dampak riil di bidang teknis, ekonomi, dan perlindungan konsumen.

Menurut Mufti, kebijakan energi seperti ini jangan hanya dilihat dari sudut efisiensi atau lingkungan, tapi juga dari sudut konsumen—apakah masyarakat akhirnya justru menjadi pihak yang dirugikan.

Menteri ESDM Bahlil Lahadia telah menyatakan niat untuk memperluas penggunaan bioetanol dalam bensin. Rencana awal yang diungkap adalah pencampuran etanol 10% (E10) ke dalam BBM jenis bensin.Beberapa pihak menilai langkah ini sejalan dengan target net zero emission dan diversifikasi energi. Namun, kebijakan ini juga memicu kekhawatiran dari beberapa produsen SPBU swasta yang menolak membeli base fuel dari Pertamina karena kandungan etanol dalam BBM.

Pihak Kementerian ESDM menyebut bahwa penggunaan etanol dalam BBM bukanlah hal baru dan sudah banyak diterapkan di negara maju. Menurut Dirjen Migas Laode Sulaeman, spesifikasi utama BBM di Indonesia tetap berasal dari Research Octane Number (RON), bukan kandungan etanol.

Sementara itu, dalam diskursus publik, sebagian produsen otomotif melihat potensi positif dari penggunaan etanol, seperti peningkatan oktan dan pengurangan emisi karbon.

Ada tantangan dan potensi risiko menurut BPKN :

• Performa dan Umur Mesin: Jika kadar etanol atau bahan aditif tidak tepat, bisa muncul risiko korosi, kerusakan komponen bahan bakar, atau degradasi performa mesin.

• Infrastruktur Distribusi: Sistem distribusi hingga SPBU harus kompatibel dengan bahan bakar beretsanol, misalnya tangki atau pipa yang tahan etanol.

• Harga & Biaya Produksi: Penambahan etanol mungkin mempengaruhi harga pokok produksi BBM, dan perlu dihitung apakah lonjakan biaya ditanggung konsumen atau subsidi pemerintah.

• Kepastian Hukum Konsumen: Jika ada kerugian, konsumen harus punya saluran perbaikan, baik dari produsen, distributor, atau pemerintah.

Ketua BPKN RI berpendapat bahwa menambah dimensi penting dalam perencanaan kebijakan energi: “agar transisi ke bahan bakar lebih “hijau” tetap adil dan aman bagi konsumen. Pemerintah yang merancang kebijakan tetap dituntut menjaga keseimbangan antara kepentingan lingkungan, industri, dan hak rakyat sebagai konsumen.”tutup Mufti.

(Red)