BPKN RI Tanggapi Viral Kasus Tumbler Konsumen yang “Hilang” di KRL

M. Mufti Mubarok, Ketua BPKN -RI

Beberin.com, Jakarta— Menanggapi viralnya keluhan seorang konsumen terkait tumbler yang “hilang” setelah tertinggal di dalam KRL, Ketua BPKN RI Mufti Mubarok menyampaikan klarifikasi sekaligus imbauan kepada masyarakat agar lebih bijak dalam menyampaikan keluhan publik.

 

Ketua BPKN RI menegaskan bahwa kasus kehilangan barang pribadi di transportasi publik harus disikapi secara objektif dengan mengacu pada aturan perlindungan konsumen serta mekanisme pengelolaan barang tertinggal yang berlaku di PT KAI Commuter.

 

1. Konsumen Bertanggung Jawab Menjaga Barang Pribadi

Ketua BPKN menekankan bahwa barang pribadi tetap menjadi tanggung jawab penumpang.

“Kelalaian awal berasal dari konsumen yang meninggalkan barang tersebut. Maka kewajiban pertama adalah memastikan barang dijaga selama perjalanan,” jelas Mufti.

 

2. Jika Ada Bukti Valid, KAI Wajib Membantu Pengembalian Barang

Apabila konsumen dapat menunjukkan bukti bahwa barang tertinggal di gerbong—seperti rekaman CCTV, tiket perjalanan, atau keterangan petugas—maka KAI memiliki kewajiban membantu pencarian dan pengembalian.

“Operator transportasi berkewajiban membantu jika ada bukti bahwa barang itu memang tertinggal di dalam layanan mereka,” tegasnya.

 

3. BPKN Siap Fasilitasi Mediasi Jika Ada Perbedaan Keterangan

Dalam hal terjadi ketidaksesuaian informasi antara konsumen dan KAI, BPKN RI membuka ruang mediasi.

“Kami siap memfasilitasi musyawarah untuk penyelesaian sengketa yang adil bagi seluruh pihak,” ujar Mufti.

 

4.  Dapat Diganti Jika Terbukti Kesalahan Pihak Layanan

Jika dalam proses klarifikasi ditemukan kelalaian dari pihak KAI, maka konsumen berhak mendapatkan penggantian.

“Barang dapat diganti dengan jenis yang sama atau senilai harga barang tersebut apabila terbukti kesalahan operator,” tambahnya.

 

5. Tidak Dibenarkan Memviralkan Jika Kelalaian Berasal dari Konsumen

Mufti menyoroti tindakan konsumen yang langsung memviralkan kasus tanpa proses klarifikasi terlebih dahulu.

“Jika kelalaian berasal dari konsumen, tidak dibenarkan untuk memviralkan kejadian tersebut. Ini dapat menyesatkan publik dan merugikan reputasi pihak terkait,” jelasnya.

 

6. Konsumen Dapat Terkena Konsekuensi Hukum Bila Menyebarkan Informasi Tidak Tepat

Ketua BPKN mengingatkan bahwa memviralkan masalah secara tidak proporsional dapat berpotensi menimbulkan sanksi hukum.

“Menyebarkan informasi yang tidak sesuai fakta atau merugikan pihak lain dapat dikenakan konsekuensi sesuai aturan yang berlaku,” tegasnya.

 

 

Mufti menutup pernyataannya dengan mengimbau masyarakat untuk menyampaikan laporan melalui kanal resmi sebelum mempublikasikan di media sosial.

“Kami mengajak masyarakat bijak dalam mengeluhkan suatu masalah. Gunakan jalur resmi agar penyelesaian dapat dilakukan secara objektif dan adil.”

 

Edison/Fahmi